Thursday, June 14, 2012

Cucu Opa

Ketika semilir angin menyentuh sela-sela jari, Temaram lampu jalanan sedikit membantu para pejalan yang dilingkupi gelapnya malam. Langkah demi langkah tak terhitung menuju sebuah tempat yang disebut rumah, Aku Pulang.

Setiap malam saya berjalan dari stasiun ke rumah, bukan karena ga ada ojek / angkot tapi ceritanya saya mau ngikutin drama-drama korea yang pernah saya tonton, tiap kali pemeran utamanya pulang ke rumah, mereka selalu berjalan kaki dari halte. Well, enough bout the background.

Suatu hari, saya melewati sebuah rumah. Sambil lalu kemudian saya mendapati sesosok rapuh duduk di kursi, Seorang pria renta memakai kaos putih tipis dan celana pendek duduk di beranda rumah yg berlampu temaram dan dipenuhi tanaman, Semilir angin seperti menggoyang badan tuanya, limbung namun kokoh. Saya tak jelas apakah pria tua itu tertidur atau tidak.
Sedikit penasaran "kenapa malam-malam begini ada kakek-kakek bengong di depan rumahnya?"
Sambil berlalu saja..

Kemudian di malam lainnya, saya kembali melewati rumah tersebut.  Pria tua itu terlihat lagi duduk di kursinya, dalam hati saya memanggilnya "Opa". Pastilah dia sudah jadi Opa, entah berapa umurnya, tapi saya yakin dia melewati kehidupan yang menyenangkan di dunia.

Beberapa malam terlewati, melewati rumah Opa menjadi sebuah kebiasaan yang menyenangkan. Dalam hati menerka-nerka apa yang Opa lakukan malam-malam menentang angin, waktu dimana dia berada dalam kehangatan di dalam rumah berada diantara cucu dan anaknya.
Adakah yang dia tunggu?
Siapa yang begitu istimewa? Sampai Opa harus terduduk dan mengantuk dibelai angin.

Di malam-malam selanjutnya sosok Opa tak terlihat,
Kemana dia?
Sakit kah?
Atau mungkin?? Saya cepat-cepat mengusir pikiran itu.
Kemana "Opa"?
Padahal sosoknya mulai menemani perjalanan pulang saya,,

Sepanjang perjalanan saya menuju rumah saya berfikir.
Begitu menyenangkan pulang ke rumah dan ada yang menunggu kita.
Sampai di rumah melihat senyum Papa yang berkata "aman di kereta Tuan?"
Sampai di rumah dan memeluk Mama yang kemudian misuh-misuh "Mandi sana, bau keringat kamu!"

Ahh.. Opa, siapa yang engkau tunggu?
Sejenak keberadaan membuat saya merindukan sosoknya
penasaran dengan apa yang dia lakukan setiap malam, duduk sambil mengantuk.

Beberapa malam kemudian, dari stasiun saya berjalan seperti biasa, namun entah kenapa perasaan saya mengatakan saya sedang diikuti oleh seseorang, seorang lelaki asing bertubuh tinggi mengikuti saya mulai dari stasiun. Apalagi jalanan yang saya lewati adalah jalanan yg cenderung sepi dan penerangannya kurang, tak ada satu orang pun yang melewati jalan ini,
Saya mempercepat langkah dia pun mempercepat langkahnya, dalam hati saya sangat takut. Barang berharga yg saya miliki hanya smartphone sama ipod, duit di dompet juga ga seberapa. Tak terbayang jika terjadi hal-hal mengerikan terhadap saya.

Beberapa meter lagi sebelum rumah Opa, sambil berdoa agar Opa duduk di depan seperti biasanya saya mempercepat langkah saya, Jika terburuk yang terjadi, saya akan meminta bantuan Opa.
Lelaki tersebut berhasil menyamai langkah saya , saya sampai bisa mendengar degup jantung saya sendiri tapi kemudian.....
Dia melewati saya kemudian membuka pagar dan menyapa Opa.
Sekilas saya lihat muka Opa cerah, dia berdiri menyongsong lelaki itu.

Degup jantung masi terdengar di telinga saya, tapi yang saya takutkan tidak terjadi,,
Saya pun memperlambat langkah saya, terlihat Opa dan lelaki itu bersama-sama masuk ke dalam rumah
Asumsi saya lelaki itu adalah orang yang selama ini ditunggu oleh Opa.

Diamati lelaki itu tidak lebih tua dari saya, mungkin saja dia adalah Cucu si Opa. Beruntungnya Dia memiliki seorang Opa yang begitu perhatian, menanti cucu kesayangannya pulang ke rumah setiap malam.

Tanggal 13 Juni 2012 kemarin Kelurga saya baru saja kehilangan Opa atau panggilan kesayangannya Bulang Uda, Bulang Uda (re: Muda = Bungsu) adalah adik dari mendiang Nenek saya dari tali darah Ibu.
Bulang Uda merupakan sosok yang menyenangkan, begitu banyak hal yang kami bisa tertawakan. Kebanggaan dia sebagai seorang Ayah yang sukses membesarkan 4 orang anak lelaki, dan Kakek dari semua cucunya.
Dalam Adat Batak karo, Upacara pemakaman Bulang Uda tidaklah diisi dengan tangis duka melainkan suara tawa dan ceria, disebut dengan Upacara Cawir Metua (Upacara yang dilaksanakan apabila semua anak dari mendiang sudah menikah).


S. SITEPU
17 Agustus 1945 - 13 Juni 2012
God saw you getting tired and a cure was not to be. So he put his arms around you and whispered "Come to Me". With all tears and joy we accompany you to your eternity, you're not go, you only moving from this world to our heart and memory. And you always know we all love you. Rest in Peace Bulang Uda.

Kehadiran seseorang begitu berarti ketika dia pergi, Suara tawa dan teguran mungkin tak lagi dapat terdengar di telinga melainkan di dalam hati bergaung untuk selalu ingatkan kita dari mana kita berasal.
Ketika Dia pergi baru terasa begitu banyak hal yang belum kita berikan.

Sebagai Kakek, Ayah, Paman, Abang, dan Adik Bulang Uda telah menjalani kehidupan yang bermanfaat untuk kami. Apa yang menjadi milik Tuhan akan kembali kepada Tuhan.
Sekarang dan seterusnya Doa anak dan cucu adalah surat yang dijanjikan Tuhan untuk selalu tersampaikan. Peluk Cium Bulang Uda, sampaikan tawa dan senyum saat nanti bertemu dengan Bulang dan Nenek Karo Sarah disana, di Sisi Tuhan Yang Maha Esa.

No comments: